DIALOG TAK BERMAKNA BERSAMA MUNA

 

Bumi yang ada kini selalu menjadi bahan perdebatan. Dari teori penciptaan yang mengangungkan Tuhan hingga beberapa kelompok yang tak mau menerima kebenaran tanpa logika mengajukan teori bigbang. Dulu yang menjadi perdebatan adalah asal-usul bumi.

Hari, tahun, dan musim berganti. Membawa manusia dari era yang tak mengenal kawan di belahan dunia lain menjadi bisa menatap mukanya hanya dengan beberapa langkah mudah. Bahan perdebatan tentang bumi pun berganti.

Kini bentuk bumi yang diperdebatkan. Apakah bumi bulat atau datar? Beberapa orang mulai bermuculan di dunia maya. Menyuguhkan bukti bahwa bumi itu datar. Menyatakan diri mereka flat earth. Atau apalah namanya.

Adalah aku yang bahkan tak berkeinginan untuk mencari tahu kebenaran tentang bentuk bumi. Aku hanya tertarik pada kedipan kursor di layar laptop di depanku. 

Kopi kedua telah habis di meja. Jam yang tergantung di ujung ruangan menunjukkan pukul 17.00. itu berarti sudah dua jam berlalu sejak aku duduk dan menghabiskan kopi pertamaku tadi. Kabar buruknya layar di depan masih kosong. Bersih. Tanpa huruf. 7 Halaman itu belum terisi satu kata pun.

Sebenarnya harus seberapa banyak dialog yang ada untuk menjadikan cerita ini sempurna. Dimengerti oleh orang yang membacanya. Harus dengan gaya apa aku menulis agar tak berhenti setelah menyalakan laptop. Semua ide hilang. Buntu. 

Hari ini semuanya berulang. Semuanya hilang. Buntu. Tak ada dialog. Tapi ini bukan dalam ceritaku. Aku mematung. Di kursi di ujung kafe itu baru saja duduk orang yang sepertinya ku kenal. Bukan. Aku memang mengenalnya. Sangat mengenalnya. 

“hai..” dia melambaikan tangannya ke arahku. Atau aku salah. Apa dia menyapa orang lain yang ada sini. Bukan menyapaku. Tidak. Dia benar-benar menyapaku.

Aku hanya mengangkat tangan. Balas menyapanya.

Dia berjalan ke arahku. Setiap langkahnya seperti mengambil energi dari dalam diriku. Perlahan aku mulai merasa lelah. Dia berdiri tepat di depanku. Saat itu juga aku lemas. Tak berdaya. Mematung. Tak berdaya. Apa yang terjadi pada diriku.

“Kamu ngapain?” dia langsung duduk di kursi depanku.

“Seperti yang kamu lihat.” aku menjawabnya hampir tanpa ekspresi.

“Oke. Sepertinya hari ini aku akan lebih banyak berbicara daripada kamu.”

Idealis. Semua hal harus sesuai dengan kriteria yang aku inginkan. Tanpa cacat. Satu titik pun tak boleh berbeda. Semua konsepku harus menjadi nyata. Sama persis. Aku tenggelam dalam karakter itu. Hingga usiaku melewati kepala dua, semua yang aku harapkan harus menjadi nyata. Tapi bukankah cara kerja dunia tidak seperti itu. Beberapa hal bahkan berada di luar kendali kita. Bahkan diri kita sendiri tidak dalam kendali kita. Sayangnya hanya beberapa orang yang mencapai tahap itu. Dimana idealisme dirinya sudah dileburkan dengan idealisme Tuhan. Sayangnya lagi, aku belum menjadi bagian beberapa orang itu.

Aku masih berkutat. Terjebak dalam idealisme diriku sendiri. Idealisme yang semakin kusadari ternyata mendikotomikan idealisme Tuhan. Memisahkan tujuan hidup diriku dengan tujuan penciptaan diriku. Tujuan Tuhan.

Dialog tak bermakna itu dimulai lagi. 

“Kamu itu sukanya duduk sendiri ya?” dia bertanya lagi.

“Ya. Mungkin.” Aku masih tanpa ekspresi menanggapinya.

“Kamu itu emang kepribadiannya tenang gitu ya?”

“Ya?”

“Iya. Kemarin aku lihat kamu kena marah dosen juga pasang ekspresi kayak gini. Kalo di kelas juga kayak gini. Sekarang juga kayak gini.”

“Oh..Entahlah.”

Kau tak akan menyukainya. Jika aku mengakuinya sekarang maka apa yang akan terjadi. Berperang dengan prasangka dalam pikiranku. Itulah yang selalu aku lakukan. Itu pula yang selalu menghentikanku untuk mengaku padamu. Tak banyak prasangka yang membawa pada keberanian. Lebih banyak membawa pada lorong ketakutan. Bodohnya, aku masih berteman dengan prasangka. Masih mengajaknya berbincang untuk memutuskan pilihan. 

Prasangka ini. bagaimana aku harus menjinakkannya. Menjadikannya alat untuk menang. Sepertinya hanya itu yang bisa aku lakukan. Mengalihkan arahnya. Karena aku tak bisa meninggalkannya. Jadi, jika makin hari aku semakin membara ingin menjadi pemenang, sedangkan prasangka selalu bersamaku. Tak terpisahkan. Bukankah cara terbaiknya adalah mengalihkan arahnya?

“Ini percakapan terlama kita sejak kita kenal di semester satu. Apa kamu menyadarinya?”

“Benarkah?” 

Bagaimanapun aku mencoba menciptakan dialog yang terdengar santai. Itu selalu gagal. Seperti bukan aku. Bukan gayaku. Aku seperti kehilangan nyawa dari tulisanku. Mungkin belum saatnya aku menciptakannya. Ikuti saja alurnya. Dengan keseriusan ini. Dengan gaya ini. 

“Ya. Meskipun masih sama polanya. Aku lebih banyak bertanya. Atau tepatnya bercerita. Dan kamu hanya menanggapi dengan satu kata. Jika aku sedang beruntung, aku akan mendapatkan 3 sampai 4 kata darimu.”

“Benarkah?”

“Baru saja kau melakukannya. Hanya satu kata. Tidak bisakah kau menambahkan beberapa kata lagi.?”

“Misalnya?”

“Ehm...Misalnya, Apa yang kau lakukan disini?”

“Apa yang kau lakukan disini?”

“Wah...itu adalah kalimat terpanjang yang pernah ku dengar darimu. Meskipun itu juga kata-kata dariku. Tapi setidaknya kau telah mengucapkannya.”

“Ya.”

Kita beralih pada paragraf selanjutnya. Masih dengan cerita yang sama. Hanya halamannya yang berbeda. Tentu saja. Masih dengan masalah yang sama. Tentang dialog tak bermakna.

Perfeksionis. Aku harus mengakui itu. Meskipun itu tidak akan mengubah apapun. Tidak akan meringankan tekanan yang kurasakan karena keinginanku menjadikan semuanya sempurna. Tapi aku tetap ingin mengakuinya.
Hujan tidak turun malam ini. Kenangan tentang lelaki itu juga tak ada. Lebih tepatnya sedang tak muncul. Entahlah. Apakah malam ini dinginnya udara tak cukup untuk memanggilnya. Atau sunyinya malam tak mampu menghadirkannya.

Aku mencoba menulis menggunakan sudut pandang perempuan. Tapi aku tak tahu bagaimana perempuan melihat situasi ini. atau aku hanya tidak tahu beda antara lelaki dan perempuan ketika melihat situasi ini. 

Apakah menjadi sebuah keharusan bahwa ada perbedaan antara lelaki dengan perempuan dalam melihat situasi. Tak bisakah jika mereka saling bertukar cara pandang. Seperti yang akan aku lakukan dalam cerita ini. lagipula, bukankah jika kita berbicara tentang rasa tak pernah ada sebuah definisi mutlak. Kau perlu tahu. Cerita ini tak akan memberikan definisi mutlak. Ya. cerita ini tentang rasa.

Aku perempuan. Aku melihat situasi ini seperti yang ada dalam cerita ini. Jika pada akhirnya cerita ini sampai padamu. Kau membacanya dan sampai waktunya kau menebak siapa tokoh utamanya. Kemudian kau membayangkan seorang lelaki yang kesepian mencintai malam sendirian. Maka itu hakmu.

Aku akan tetap bercerita dengan caraku melihat situasi ini. Setidaknya sampai aku bisa menjadikan diriku berada pada posisi orang lain. Melihat situasi ini dengan cara orang lain. Sampai saat itu tiba. Aku berharap kau menikmati ceritaku. Tentang caraku melihat semuanya. Mungkin akan sampai pula cerita tentang caraku melihatmu.

Malam ini aku membebaskan diriku. Menulis apapun. Entah tentang diriku. Tentangmu. Temanku. Sahabatku. Yang pernah menjadi lelakiku. Atau beberapa orang yang pernah bertemu tatap denganku. Bisa jadi pula ini cerita tentang tokoh-tokoh yang selama ini hanya ada dalam pikiranku.

Sempurna. Memang bukan manusia yang ditakdirkan untuk memilikinya. Beberapa orang mencoba memberikan pemahaman pada sebagian orang bahwa sempurna hanya berhak dimiliki Tuhan. Sayangnya, hingga usiaku hampir menemui angka baru. Aku masih belum memahaminya. Aku hanya mampu mengakui. Aku perfeksionis. Menginginkan semuanya sempurna.

Kabar baiknya. Baru saja aku mendapatkan pemahaman baru. Bukan aku ingin menjadi sempurna. Aku ingin semuanya sempurna. Jika itu kenyataanya. Bukankan ini menjadi kabar baik untukku. 

Sekarang kau sudah memahami apa yang ku sebut kabar baik itu? Jika sudah. Aku bersyukur untuk itu. Jika belum. Maka aku akan menuliskannya untukmu. 

Aku ingin semuanya sempurna. Jika memang benar apa yang dikatakan beberapa orang tentang sempurna hanya milih Tuhan. Bukankah ini berarti aku menginginkan Tuhanku. Ya. Aku menginginkan Tuhan ada dalam hidupku. Hanya dengan Tuhan maka semuanya sempurna. Karena hanya Tuhan yang berhak atas sifat sempurna.

Aku terdiam menemukan pemahaman ini. 

Kini aku menyelami halaman ke empatku. Layar di depanku tak lagi kosong. Kedipan kursor itu kini tak sering muncul. Beberapa kali masih muncul. Tak apa. Aku menerima kehadirannya.

“Apa kau mau pergi?” aku bertanya. Berharap jika dia akan tetap ada di depanku.

“Apa kamu meminta untuk tetap duduk disini?”

“Jika kau tak keberatan.”

“Aku tak pernah keberatan untuk menemanimu.”

Jika kau tak keberatan aku ingin mengakuinya. Hari ini. Tentang diam yang selalu penuh misteri. Terkadang menjadi alasan untuk mengakhiri. 

Semua terlihat indah. Terasa menyenangkan. Menenangkan. Tapi sayangnya, aku tak tahu ini harus aku jadikan seperti apa. Aku tak tahu ini akan seperti apa. Aku tak tahu bagaimana melanjutkannya. Bagaimana mengakhirinya.

Apakah ini akan menjadi cerita yang indah, sedih, atau cerita dengan akhir yang membingungkan.

7 halaman. Makna sudah ditemukan. Tapi akhir belum ditentukan. Juga tokoh belum didapatkan. Haruskah ini menjadi cerita tentang lelaki itu. Yang bahkan malam ini rindu untuknya tak datang. Atau tentang temanku yang beberapa kali kau memimpikannya. Mungkin kau merindukannya. 

Satu tanda enter membuat halaman baru terbuka. Aku memilihmu menjadi tokoh dalam cerita ini. Dia yang duduk di ujung kafe ini. Dia adalah dirimu. Kau yang telah menjadi cerita lama. Muna. Teman lamaku.

Entah berapa kali aku melewati jalanan di depan rumahmu. Sebanyak itu pula aku berharap kembali melihatmu. Sebanyak itu pula aku menemukan diriku kecewa tak dapat melihatmu.

Seperti halnya hari dalam satu tahun yang selalu berganti. Dapat terhitung. Tapi tetap tak dapat dijalani yang telah lalu meski ingin untuk kembali. 

Aku bertemu dengan beberapa teman baru setelah dirimu. Aku pun berpisah dengan beberapa teman baru yang kutemui setelah dirimu. Tapi kau tahu, Muna. Aku masih bisa tahu kabar mereka. Entah aku bertemu mereka di sekolah yang sama. Lagi. Entah itu dari cerita orang tuaku. Entah itu dari cerita tetanggaku. Atau aku tahu dari kabar dunia maya. Semuanya aku tahu. Kecuali kabar tentangmu.

Diamku hari ini melihatmu di kafe ini membawa pada kenangan tentang kesalahanku hari itu. Ya. aku menyebutnya kesalahan. Tentang idealisme dan perfeksionis yang baru kupahami hari ini. Dialog bermakna itu baru saja dimulai

“Apa kabar?” aku hanya mampu mengatakan dua kata itu. Semua kenangan tentang kesalahanku membuatku merasa aku tak berhak untuk berbincang dengannya lebih dari 3 sampai 4 kata. Seperti yang dia katakan.

“Seperti yang kau lihat. Aku ada di hadapanmu. Menyapamu lebih dulu. Kau boleh mengartikan bahwa aku ingin dekat denganmu.”

“....” aku diam. Menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. Aku tahu selalu ada banyak kalimat darinya. Banyak cerita. 

“Aku ingin kita bisa berteman seperti dulu. Lagi.” Dia menatapku. 

“...” aku masih diam. 

“Kamu. Apa kabar?”, 

“....” aku tetap terdiam. Lama. Begitu banyak kata yang ingin ku katakan padanya. Aku ingin meminta maaf padanya. Ingin mengaku bahwa itu adalah kebodohanku. Ingin mengatakan yang baru saja ku pahami. Tentang idealisme dan perfeksionis. Tapi aku tahu. Itu hanya akan terdengar seperti alasan. Seperti kebohongan yang sudah diatur rapi. Bukan tentang kebenaran.

“Aku merindukanmu sejak hari itu.” kalimat itu berani keluar setelah diamku yang lama. 

“Aku tahu. Harusnya kau menyadarinya lebih cepat.” dia menatapku. 

“Aku terlalu bodoh saat itu.” bahkan hari ini aku masih bodoh. Tak mampu menyapamu lebih dulu meski kita telah bertemu sejak 4 tahun lalu. 

“Aku minta maaf” aku melanjutkan kalimatku. Aku hanya mampu mengatakan itu. Meski akan terdengar sangat dipaksakan. Karena memang aku memaksakan diriku untuk mengatakannya. Atau aku akan menyesal karena tenggelam dengan prasangka bahwa dia tak akan memaafkan. Seperti yang selalu aku lakukan selama 4 tahun ini. bertemu dengannya. Tak mampu menyapa. Berprasangka dia tak lagi mengingatku.

“Untuk apa?” Muna bertanya padaku. 

“Haruskah aku menjelaskannya.?” aku menatap Muna. 

“Kau tak perlu menjelaskannya.” matanya mulai berkaca-kaca. Jangan kau tanya tentang mataku. Sejak aku melihat dia duduk di depanku. Sejak dialog tak bermakna itu dimulai sampai dialog itu menjadi bermakna. Aku sudah berusaha menahan agar air mataku tak jatuh membasahi meja kafe ini.

Bagaimanapun ceritanya. Bagaimanapun situasinya. Siapapun orangnya. Bagaimanapun sifatnya. Bukankah masa lalu selalu mengikuti tanpa pernah tertinggal. Bukankah kita selalu terikat loyalitas dalam sebuah pertemanan. Atau kau boleh menyebutnya persahabatan. Seperti itu pula aku dengannya. Teman lamaku. Muna.

Aku mencoba memahaminya sebagai loyalitas perasaanku yang menjadikannya temanku. Loyalitas pertemanan kami. Keputusan tentang 7 halaman ini pun tentang loyalitas perasaanku. Entah akhirnya cerita ini akan dipahami atau tidak. Tapi yang harus kau ingat adalah bagaimanapun situasinya, pertemanan selalu menuntut loyalitas. Seperti kenangan yang terus setia mengekor pada pemiliknya. 
 

Posting Komentar

0 Komentar