JAWABAN UNTUK SEBUAH PERTANYAAN

 

 
Bagian 3
--ada hati yang akan memulai dan mengakhiri cintanya--


“Maafkan aku, Khanza.” 

Aku tak melihat wajah Andi saat ia mengatakan itu. Aku melihat ke arah kolam didepan kontrakanku. Melihat dua kura-kura peliharaanku. Rilla. Nama salah satu kura-kura itu.

“Maaf untuk apa?” Kali ini aku melihat wajah Andi. Kami saling tatap. Diam beberapa menit. Kami menyelami pikiran masing-masing. Mencoba mencari tahu perasaan, pikiran kami saat itu.

“Untuk semuanya. Untuk tiap langkah yang kau lewati setelah kepergianku. Untuk tiap kemungkinan jawaban yang kau coba untuk temukan. Maaf telah membiarkanmu melewati 365 hari tanpa kehadiranku.” Andi menatapku. Tatapan itu terlihat ingin mengatakan banyak hal. Tatapan itu yang dulu selalu membuatku berani. Tatapan itu yang dulu selalu membuatku yakin untuk memulai hari. 

“Boleh aku bertanya?”

“Kau selalu punya hak untuk itu, Khanza.”

“Mengapa kau pergi? Kemana kau pergi? Tak bisakah kau memberi kabar? Tahukah kau? Aku tak pernah bisa pergi tidur sebelum mendapat jawaban yang aku sendiri tak tahu kebenarannya. Jawaban dimana kau? Mengapa kau pergi?”.  Pertanyaan itu keluar begitu saja. Tanpa bisa mengantri. 

Aku tak bisa menahan air mataku. Menggenang di ujung mata. Mungkin jika aku tak segera menghentikan perkataanku, aku benar-benar menangis. Andi melihatku. Membiarkan aku mengeluarkan semua yang aku rasakan. Hal inilah yang membuatku nyaman bersamanya. Begitupun hari ini. perlakuannya padaku tak berubah. Membuat setiap kemarahanku karena kepergiannya yang tanpa kabar tak bersisa. Hari ini aku jatuh cinta padanya. Lagi.

“Karena aku mencintaimu, Khanza.”, Andi mengatakannya tanpa ragu. Tatapannya yakin. 

“...”, Aku terdiam. Mendengar apa yang dikatakannya membuatku mematung. Ada sebagian dalam diriku yang bahagia. Tapi sebagian lagi menolak percaya atas apa yang telah ku dengar.

“Aku pergi untuk memastikan hatiku. Kau ingat, Khanza? Hari dimana kita membicarakan banyak hal saat perjalanan kita naik gunung itu. Saat itu banyak yang kupikirkan. Tapi hanya satu yang ingin kukatakan. Hanya satu pula yang ingin ku pastikan. Sayangnya, sebelum aku berhasil mengatakannya. Aku menemukan alasan bahwa aku tak seharusnya mengatakannya hari itu. Aku harus menunggu. Setidaknya menunggu hingga hari ini.”

“...” Aku masih terdiam. Mengingat kembali percakapanku dengan Andi hari itu.

“Selama waktu aku menunggu. Kau tahu, Khanza? Aku terus berusaha mencari keberanianku untuk mengatakannya. Aku terus dihantui ketakutan jika kau akan bersama lelaki lain sebelum aku mengatakannya. Selama itu pula aku bergulat dengan perasaanku. Perasaan rinduku. Ketika aku tak berhasil mengalahkan rinduku, aku memaksakan diri melihatmu dari jauh. Meskipun hal itu membuatku lebih merasa sesak. Karena saat aku melihatmu, aku masih mendapati diriku menjadi pecundang. Tak berani menjadikanmu wanitaku. Ya, Khanza, aku mencintaimu. Maafkan aku baru mengaku sekarang.”

“...” Aku masih terdiam. Mencoba menyadarkan pikiranku. Memastikan bahwa aku tak salah mendengar perkataan Andi. Dia mencintaiku?.

“Khanza, aku mencintaimu. Aku tak mengatakan ini di hari itu, karena kau saat itu menceritakan banyak sekali mimpi yang ingin kau lakukan. Saat itu pula, aku sudah mencintaimu dan mimpiku adalah mewujudkan mimpimu. Tapi aku merasa aku belum mampu. Itulah alasan aku pergi. Aku memastikan diriku bisa mencintaimu dengan baik. Mungkin tidak seperti yang kau harapkan. Tapi aku berusaha mencintaimu dengan baik.”, Andi membalikkan badannya. Menghadap ke arah kolam. Helaan napas panjangnya terdengar. Membuatku percaya pengakuan yang ia lakukan tadi memang sudah ia tahan sejak lama.

Aku terdiam. Tak bisa memberikan jawaban. Aku mematung. Hanya helaan nafasku yang terdengar. Tidak. Helaan nafas kami. Aku dan Andi. Tak hanya aku yang mematung. Rilla pun tak bergerak dari posisinya. Sejak aku memperkenalkannya pada Andi. Rilla seperti memahami perasaanku, Tuannya. Bagaimana tidak. Hampir tiap hari aku bercerita dengannya. Tentang Andi. Tentang perasaanku padanya. Ya. Akupun mencintai Andi. Hari kami menuruni gunung itu. Hari saat Andi menghilang tak ada kabar selang beberapa jam setelah kami sampai di rumah. Hari itu. Aku menyadari diriku telah jatuh cinta padanya.

Sekarang semunya menjadi seperti ini. Aku tahu perasaan Andi. Dia mencintaiku. Aku pun mencintainya. Bukankah saat seperti ini seharusnya menjadi saat yang membahagiakan. Paling tidak melegakan. Tapi kenapa aku tak merasa bahagia. Tak merasa lega. Kenapa pikiranku harus kembali ke alam sadar. Mengingatkan aku tentang perjodohan itu. Mengingatkan aku jika aku seharusnya sudah berada di rumah orang tuaku sekarang.

“Kau mencintaiku?”, Aku tak bisa berkata apapun selain itu. Kebingunganku atas kenyataan aku sudah ditunggu orang tuaku untuk dijodohkan dengan kenyataan Andi mencintaiku. Kebingungan yang menyekat pikiranku. Tak mampu berpikir lebih realistis. 

“Haruskah aku mengulang pengakuanku?” Andi justru kembali bertanya padaku.

“Jika kau keberatan, tak perlu kau ulang. Aku hanya masih perlu untuk memahami atas apa yang baru saja terjadi.” Aku duduk di kursi teras kontrakanku. Meneguk air. Berusaha mencari cara menjelaskan pada Andi. Mengenai perjodohanku.

“Apa kau mencintai orang lain?” 

“Apa aku terlihat sudah mencintai orang lain?”, kami berkomunikasi dengan saling melontar pertanyaan. Seakan banyak hal yang perlu dijelaskan. Banyak hal yang perlu dicari tahu.

“Aku tak tahu. Aku hanya takut kau telah mencintai orang lain. Aku takut apa yang ada dalam pikiranku menjadi kenyataan. Kau telah menjadi milik orang lain ketika aku berani mengakui perasaanku.”

Kami saling membisu. Seperti mengizinkan pikiran masing-masing saling memahami situasi yang tengah terjadi. Air di gelas pun telah habis. Tapi aku masih tak tahu aku harus berbuat apa.

“Andi, kenapa kau datang hari ini. Kenapa harus hari ini? Kenapa baru sekarang?” Aku mencoba memulai lagi percakapan kami dengan nada bicara yang lebih santai. Tak seperti percakapan sebelumnya. Mengurangi tekanan emosi.

“Entahlah. Aku merasa hari ini adalah hari yang tepat untukku datang menemuimu.”

“Kau tahu. Kau tak seharusnya datang hari ini.”

“Maksudmu?”

“Ya. Kau tak seharusnya datang hari ini.”

“...” Andi diam. Menghela napas, membenahi duduknya. 

“Hari ini aku harus pulang bertemu orang tuaku.”

“Baiklah. Lalu apa masalahnya dengan itu. Kau bisa pergi sekarang. Aku bahkan bisa mengantarmu.”

“Aku belum menyelesaikan perkataanku.”

“...”

“Kau kembali setelah kepergian yang tanpa kabar. Kau kembali dengan pengakuanmu. Aku menghargai itu. Aku pun harus mengaku padamu. Aku menunggu saat seperti hari ini. Aku pun sama denganmu. Aku mencintaimu.”

“Lalu apa yang menjadikan aku tak seharusnya datang hari ini, Khanza?”

“Kau benar tentang ketakutanmu.”

“Maksudmu?” Nada bicara Andi sedikit meninggi.

“Ya. Hari ini aku akan bertemu dengan lelaki yang dijodohkan denganku.” aku menunduk. Tak mampu menatap Andi. 

“Apa aku serius dengan perkataanmu?”

“Ya.”

Kami kembali membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kisah ini terasa klasik. Aku seperti berada dalam kisah yang biasa ada di televisi. Ketika tokoh utama terjebak dalam dua sosok yang akan menjadi teman dalam menuliskan cerita cintanya. Sosok pertama yang berjuang dengan cintanya yang telah lama dipendam. Sosok kedua yang muncul seperti super hero yang ingin menyelamatkan tokoh utama dari sepinya hidup.

Beberapa cerita akan memenangkan sosok yang telah lama memendam cintanya karena keberaniannya di ujung hari menyatakan perasaannya. Tak jarang pula sosok kedua memenangkan hati tokoh utama dengan ketulusannya.

Sayangnya, hari ini aku tak tahu akan berakhir seperti apa cerita cintaku. Yang aku tahu dengan pasti hanyalah aku tak mungkin mempertahankan keduanya. Aku harus memilih. Andi atau lelaki yang bahkan aku belum tahu namanya. 

“Aku mengerti. Maafkan aku, Khanza. Kau benar. Aku tak seharusnya datang hari ini. aku akan pergi. Aku pamit.” Andi beranjak dari tempat duduknya. Sebelum aku mampu menahannya. Dia sudah keluar dari halaman kontrakan. 

“Apa kau akan pergi lagi?”, Aku mengatakannya setelah Andi menghilang dari pandanganku. Aku terduduk. Mematung. 

“Sepertinya aku harus merelakannya. Benarkan, Rilla?”, tanpa sadar aku meneteskan air mata. Berbisik lirih pada Rilla. Ya. sebelum hari ini aku sudah bertaruh pada Rilla jika aku akan merelakan Andi. Kejadian hari inipun memberikanku energi untuk merelakannya. Atau memberikan energi untuk memilih lelaki yang belum ku tahu namanya? Entahlah.
 

***
The End


Posting Komentar

0 Komentar