“Maafkan
aku, Khanza.”
Aku
tak melihat wajah Andi saat ia mengatakan itu. Aku melihat ke arah kolam
didepan kontrakanku. Melihat dua kura-kura peliharaanku. Rilla. Nama salah satu
kura-kura itu.
“Maaf
untuk apa?” Kali ini aku melihat wajah Andi. Kami saling tatap. Diam beberapa
menit. Kami menyelami pikiran masing-masing. Mencoba mencari tahu perasaan,
pikiran kami saat itu.
“Untuk
semuanya. Untuk tiap langkah yang kau lewati setelah kepergianku. Untuk tiap
kemungkinan jawaban yang kau coba untuk temukan. Maaf telah membiarkanmu
melewati 365 hari tanpa kehadiranku.” Andi menatapku. Tatapan itu terlihat
ingin mengatakan banyak hal. Tatapan itu yang dulu selalu membuatku berani.
Tatapan itu yang dulu selalu membuatku yakin untuk memulai hari.
“Boleh
aku bertanya?”
“Kau
selalu punya hak untuk itu, Khanza.”
“Mengapa
kau pergi? Kemana kau pergi? Tak bisakah kau memberi kabar? Tahukah kau? Aku
tak pernah bisa pergi tidur sebelum mendapat jawaban yang aku sendiri tak tahu
kebenarannya. Jawaban dimana kau? Mengapa kau pergi?”. Pertanyaan itu keluar begitu saja. Tanpa bisa
mengantri.
Aku
tak bisa menahan air mataku. Menggenang di ujung mata. Mungkin jika aku tak
segera menghentikan perkataanku, aku benar-benar menangis. Andi melihatku.
Membiarkan aku mengeluarkan semua yang aku rasakan. Hal inilah yang membuatku
nyaman bersamanya. Begitupun hari ini. perlakuannya padaku tak berubah. Membuat
setiap kemarahanku karena kepergiannya yang tanpa kabar tak bersisa. Hari ini
aku jatuh cinta padanya. Lagi.
“Karena
aku mencintaimu, Khanza.”, Andi mengatakannya tanpa ragu. Tatapannya yakin.
“...”,
Aku terdiam. Mendengar apa yang dikatakannya membuatku mematung. Ada sebagian
dalam diriku yang bahagia. Tapi sebagian lagi menolak percaya atas apa yang
telah ku dengar.
“Aku
pergi untuk memastikan hatiku. Kau ingat, Khanza? Hari dimana kita membicarakan
banyak hal saat perjalanan kita naik gunung itu. Saat itu banyak yang
kupikirkan. Tapi hanya satu yang ingin kukatakan. Hanya satu pula yang ingin ku
pastikan. Sayangnya, sebelum aku berhasil mengatakannya. Aku menemukan alasan
bahwa aku tak seharusnya mengatakannya hari itu. Aku harus menunggu. Setidaknya
menunggu hingga hari ini.”
“...”
Aku masih terdiam. Mengingat kembali percakapanku dengan Andi hari itu.
“Selama
waktu aku menunggu. Kau tahu, Khanza? Aku terus berusaha mencari keberanianku
untuk mengatakannya. Aku terus dihantui ketakutan jika kau akan bersama lelaki
lain sebelum aku mengatakannya. Selama itu pula aku bergulat dengan perasaanku.
Perasaan rinduku. Ketika aku tak berhasil mengalahkan rinduku, aku memaksakan
diri melihatmu dari jauh. Meskipun hal itu membuatku lebih merasa sesak. Karena
saat aku melihatmu, aku masih mendapati diriku menjadi pecundang. Tak berani
menjadikanmu wanitaku. Ya, Khanza, aku mencintaimu. Maafkan aku baru mengaku
sekarang.”
“...”
Aku masih terdiam. Mencoba menyadarkan pikiranku. Memastikan bahwa aku tak
salah mendengar perkataan Andi. Dia mencintaiku?.
“Khanza,
aku mencintaimu. Aku tak mengatakan ini di hari itu, karena kau saat itu
menceritakan banyak sekali mimpi yang ingin kau lakukan. Saat itu pula, aku
sudah mencintaimu dan mimpiku adalah mewujudkan mimpimu. Tapi aku merasa aku
belum mampu. Itulah alasan aku pergi. Aku memastikan diriku bisa mencintaimu
dengan baik. Mungkin tidak seperti yang kau harapkan. Tapi aku berusaha
mencintaimu dengan baik.”, Andi membalikkan badannya. Menghadap ke arah kolam.
Helaan napas panjangnya terdengar. Membuatku percaya pengakuan yang ia lakukan
tadi memang sudah ia tahan sejak lama.
Aku
terdiam. Tak bisa memberikan jawaban. Aku mematung. Hanya helaan nafasku yang
terdengar. Tidak. Helaan nafas kami. Aku dan Andi. Tak hanya aku yang mematung.
Rilla pun tak bergerak dari posisinya. Sejak aku memperkenalkannya pada Andi.
Rilla seperti memahami perasaanku, Tuannya. Bagaimana tidak. Hampir tiap hari
aku bercerita dengannya. Tentang Andi. Tentang perasaanku padanya. Ya. Akupun
mencintai Andi. Hari kami menuruni gunung itu. Hari saat Andi menghilang tak
ada kabar selang beberapa jam setelah kami sampai di rumah. Hari itu. Aku
menyadari diriku telah jatuh cinta padanya.
Sekarang
semunya menjadi seperti ini. Aku tahu perasaan Andi. Dia mencintaiku. Aku pun
mencintainya. Bukankah saat seperti ini seharusnya menjadi saat yang
membahagiakan. Paling tidak melegakan. Tapi kenapa aku tak merasa bahagia. Tak
merasa lega. Kenapa pikiranku harus kembali ke alam sadar. Mengingatkan aku
tentang perjodohan itu. Mengingatkan aku jika aku seharusnya sudah berada di
rumah orang tuaku sekarang.
“Kau
mencintaiku?”, Aku tak bisa berkata apapun selain itu. Kebingunganku atas
kenyataan aku sudah ditunggu orang tuaku untuk dijodohkan dengan kenyataan Andi
mencintaiku. Kebingungan yang menyekat pikiranku. Tak mampu berpikir lebih
realistis.
“Haruskah
aku mengulang pengakuanku?” Andi justru kembali bertanya padaku.
“Jika
kau keberatan, tak perlu kau ulang. Aku hanya masih perlu untuk memahami atas
apa yang baru saja terjadi.” Aku duduk di kursi teras kontrakanku. Meneguk air.
Berusaha mencari cara menjelaskan pada Andi. Mengenai perjodohanku.
“Apa
kau mencintai orang lain?”
“Apa
aku terlihat sudah mencintai orang lain?”, kami berkomunikasi dengan saling
melontar pertanyaan. Seakan banyak hal yang perlu dijelaskan. Banyak hal yang
perlu dicari tahu.
“Aku
tak tahu. Aku hanya takut kau telah mencintai orang lain. Aku takut apa yang
ada dalam pikiranku menjadi kenyataan. Kau telah menjadi milik orang lain
ketika aku berani mengakui perasaanku.”
Kami
saling membisu. Seperti mengizinkan pikiran masing-masing saling memahami
situasi yang tengah terjadi. Air di gelas pun telah habis. Tapi aku masih tak
tahu aku harus berbuat apa.
“Andi,
kenapa kau datang hari ini. Kenapa harus hari ini? Kenapa baru sekarang?” Aku
mencoba memulai lagi percakapan kami dengan nada bicara yang lebih santai. Tak
seperti percakapan sebelumnya. Mengurangi tekanan emosi.
“Entahlah.
Aku merasa hari ini adalah hari yang tepat untukku datang menemuimu.”
“Kau
tahu. Kau tak seharusnya datang hari ini.”
“Maksudmu?”
“Ya.
Kau tak seharusnya datang hari ini.”
“...”
Andi diam. Menghela napas, membenahi duduknya.
“Hari
ini aku harus pulang bertemu orang tuaku.”
“Baiklah.
Lalu apa masalahnya dengan itu. Kau bisa pergi sekarang. Aku bahkan bisa
mengantarmu.”
“Aku
belum menyelesaikan perkataanku.”
“...”
“Kau
kembali setelah kepergian yang tanpa kabar. Kau kembali dengan pengakuanmu. Aku
menghargai itu. Aku pun harus mengaku padamu. Aku menunggu saat seperti hari
ini. Aku pun sama denganmu. Aku mencintaimu.”
“Lalu
apa yang menjadikan aku tak seharusnya datang hari ini, Khanza?”
“Kau
benar tentang ketakutanmu.”
“Maksudmu?” Nada
bicara Andi sedikit meninggi.
“Ya.
Hari ini aku akan bertemu dengan lelaki yang dijodohkan denganku.” aku
menunduk. Tak mampu menatap Andi.
“Apa
aku serius dengan perkataanmu?”
“Ya.”
Kami
kembali membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kisah ini terasa
klasik. Aku seperti berada dalam kisah yang biasa ada di televisi. Ketika tokoh
utama terjebak dalam dua sosok yang akan menjadi teman dalam menuliskan cerita
cintanya. Sosok pertama yang berjuang dengan cintanya yang telah lama dipendam.
Sosok kedua yang muncul seperti super hero yang ingin menyelamatkan tokoh utama
dari sepinya hidup.
Beberapa
cerita akan memenangkan sosok yang telah lama memendam cintanya karena
keberaniannya di ujung hari menyatakan perasaannya. Tak jarang pula sosok kedua
memenangkan hati tokoh utama dengan ketulusannya.
Sayangnya,
hari ini aku tak tahu akan berakhir seperti apa cerita cintaku. Yang aku tahu
dengan pasti hanyalah aku tak mungkin mempertahankan keduanya. Aku harus
memilih. Andi atau lelaki yang bahkan aku belum tahu namanya.
“Aku
mengerti. Maafkan aku, Khanza. Kau benar. Aku tak seharusnya datang hari ini. aku
akan pergi. Aku pamit.” Andi beranjak dari tempat duduknya. Sebelum aku mampu
menahannya. Dia sudah keluar dari halaman kontrakan.
“Apa
kau akan pergi lagi?”, Aku mengatakannya setelah Andi menghilang dari
pandanganku. Aku terduduk. Mematung.
“Sepertinya
aku harus merelakannya. Benarkan, Rilla?”, tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Berbisik lirih pada Rilla. Ya. sebelum hari ini aku sudah bertaruh pada Rilla
jika aku akan merelakan Andi. Kejadian hari inipun memberikanku energi untuk
merelakannya. Atau memberikan energi untuk memilih lelaki yang belum ku tahu
namanya? Entahlah.
0 Komentar