LEBARAN (BERSAMA) BAPAK

 



“Buk, Bapak sudah pulang?” Suara seorang anak perempuan terdengar dari ruang tamu yang sudah dipenuhi berbagai macam kue. Suguhan untuk tamu yang datang. Hari ini adalah hari lebaran.

“Belum. Mungkin bapakmu ikut salam-salaman dulu tadi di masjid.” Seorang ibu paruh baya sedang menyiapkan “buntelan” yang akan dibawa ke langgar dekat rumah. Dia adalah ibuku. Sudah menjadi tradisi warga di lingkungan RT sini, setelah selesai sholat Ied di masjid agung desa, kita semua berkumpul membawa “buntelan” masing-masing. Lalu pak kyai akan membaca doa-doa. Aku tak tahu makna doa itu. Aku masih menjadi anak kecil yang hanya tahu main dan minta jajan. 

Setelah ibuku selesai dengan “buntelan”nya, suara langkah kaki terdengar dari halaman rumah.

“Nduk, ini bapakmu pulang.” Ibuk sedikit berteriak memberitahuku. 

Aku yang sedang mengambil kembang api di kamar segera berlari keluar. “Bapak!”

“Bapak kok lama pulangnya?” Aku menggandeng tangan bapak masuk rumah. Mengambil peci hitamnya. Aku suka memakai peci bapak. Bahkan kata ibuk. Dulu itu, kalau dihitung oleh dukun beranaknya, harusnya aku ini laki-laki. Anggap saja ini bentuk pembenaran soal aku yang suka memakai peci bapak. 

“Tadi bapak ikut salam-salaman dulu di masjid. Kamu langsung pulang to sama ibukmu?” Bapak langsung duduk di meja yang banyak suguhan kue tadi. Bukan mengambil kue, bapak mengambil rokoknya. Membuat satu “linting” untuknya. Aku lagi-lagi menirukannya. 

Namaku Suti. Anak bungsu dari 8 bersaudara. Ibuk bapakku punya banyak anak. Tapi yang bisa berkumpul lebaran tahun ini cuma 4 anaknya. Sebenarnya bukan hanya tahun ini. Tapi setiap tahun memang cuman 4 anaknya yang berkumpul. Bukan apa-apa. Kalo kata ibuk, “Kakak-kakakmu ndak mau di-emong sama ibuk dan bapakmu. Mau langsung ketemu sama Gusti Allah saja”.

“Pak, ini sudah siap. Tadi sudah banyak yang berangkat. Sudah ada kentongan juga.” Ibuku membawakan “buntelan” tadi ke ruang tamu. Di tangan kanannya juga ada segelas kopi untuk bapak. Tentu saja aku yang pertama meminumnya. Aku ini sudah seperti tempelan bapak kalo di rumah. Apa yang untuk bapak, itu juga untukku. Kecuali rokok. Pernah bapak marah besar ketika melihatku melinting rokok hingga menyalakannya. Bahkan aku sudah mengangkat rokok itu mendekati mulut. Aku tidak pernah melihat bapak semarah itu. Sejak saat itu, aku ndak berani lagi main-main sama rokok bapak. 

“Iya. Aku tak ngerokok sebentar. Kamu mau ikut ndak, Nduk?” Bapak menyalakan rokoknya. Asapnya keluar dari mulut dan hidung bapak. Kadang malah bisa keluar dari telinga bapak. Aku menamainya sulap asap. Itu adalah salah satu hiburan keluarga kami. 

“Aku di rumah saja, Pak. Tadi Mba Sumi nyuruh nyapu halaman. Nanti aku malah diomeli kalo aku ikut bapak.” Aku turun dari kursi. Berdiri di samping bapak. Menyeruput kopi. Ternyata masih panas.

“Tumben, Nduk. Kamu ndak mau ikut. Anak bapak sekarang sudah besar ternyata. Sudah bisa bantu mbakmu. Yowes. Bapak berangkat dulu.” Bapak juga menyeruput kopi setelah aku. Tapi bapak ndak terlihat kepanasan seperti aku ketika menyeruputnya. 

“Bu. Aku berangkat ke langgar dulu.” Bapak berjalan ke belakang. Pamit sama ibu. 

Aku ikut berjalan di belakang bapak. Mengikutinya sampai di jalan depan rumah. Langgar yang dimaksud itu letaknya dekat dengan rumahku. Dibangun di pekarangan tetanggaku dan rumah tetanggaku itu ada di pojok rumahku. Terpisah pertigaan saja. Langgar itu nama lain dari masjid. Di desaku ada beberapa nama lain dari masjid. Ada langgar, mushola, dan masjid. Kata bapak, yang di dekat rumahku itu disebut langgar. Terus yang tadi pagi dipakai untuk sholat Ied disebut masjid. Bapak, ibu, mba, sampai masku yang sudah tinggal beda rumah sudah berulang kali menjelaskan padaku bedanya langgar, mushola, dan masjid. Tapi aku masih juga ndak paham bedanya. 

Bukan. Bukan aku yang bodoh. Lha wong aku termasuk 3 besar terus kok di SD. 

Setelah melihat bapak sudah sampai di langgar, aku masuk rumah. Mengambil sapu dan segera pergi ke halaman. Cari aman dan damai. Kan ini suasana lebaran. Kata ibu, “Hei, jangan berantem to, nduk. Ini masih lebaran. Pamali.”

Jadi, aku segera menyelesaikan perintah Mba Sumi. Jika tidak, omelannya akan menjadikan sugahan kue di meja hancur bentuknya. 

Mba Sumi. Adalah mbakku yang masih tinggal di rumah bersamaku. Sekarang yang tinggal di rumah ini ada 4 orang. Aku, Mba Sumi, Bapak, juga Ibu. Dua anak ibu lainnya sudah menikah. Punya rumah sendiri. Masku namanya Mas Sapto. Mbaku yang satu lagi namanya Mba Ayu. Satu-satunya anak perempuan ibuk yang namanya paling bagus. Wajahnya juga paling ayu. Kalo Mba Sumi, wajahnya juga ayu, tapi tak masih kalah sama Mba Ayu. Meski begitu, Mba Sumi tetap jadi yang paling ayu kalo dibanding teman-temannya disekolah. Kalo aku? Aku nggak dapat jatah wajah yang ayu. Tapi dapat otak yang paling pintar.

“Mba, aku udah selesai nyapu. Aku boleh nyusul bapak ya?” Aku berlari ke dapur setelah selesai menyapu halaman. Ibu dan Mba Sumi ada di dapur, memasak kupat buat Mas Sapto sama Mba Ayu yang nanti akan datang. 

“Ya. Tapi jangan nakal ya” Mba Sumi menjawab dengan nada yang sangat ramah. Itu adalah suara Mba Sumi paling ramah yang pernah ku dengar selama aku jadi adik kandungnya. 

Lebaran tahun ini terasa sangat meriah. Aku dibelikan baju baru lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya oleh ibuk. Bahkan dibelikan jam tangan juga. Semalam juga takbir kelilingnya ada tambahan satu truk. Biasanya cuman ada tiga. Semalam ada empat. Juga karena tahun ini aku sudah punya keponakan. Aku selalu pengen punya adik. Tapi karena aku anak bungsu yang benar-benar bungsu. Ibu sudah ndak bisa hamil lagi. 

Aku menyusul bapak ke langgar. Ternyata sudah selesai. Bapak sudah memakai sandalnya. Balik badan, berjalan pulang ketika aku sampai di gerbang. 

“Wah, Nduk. Kendurinya sudah selesai. Ayo pulang.” Bapak menggandeng tanganku pulang.

Di halaman rumah sudah terparkir dua motor. Itu pertanda mas dan mbakku sudah datang. Keponakanku juga. Aku langsung berlari, melepas gandengan tangan bapak. 

“Mas Sapto, Sari mana?” Aku mencium tangan masku dan istrinya, juga tangan mbaku dan suaminya sambil mataku mencari-cari keponakanku. Sari namanya.

“Sari digendong ibu. Kamu darimana? Tadi mas panggil-panggil nggak nyaut.” Masku menunjuk ke arah ibuk yang sedang menggendong Sari di teras samping. 

Aku pergi menghampiri ibuk yang sedang menggendong Sari di teras samping. Merengek minta ikut menggendong Sari. Tapi ibuk melarang. Jadi aku hanya bertepuk-tepuk di samping ibuk dan Sari tertawa mendengar tepukanku. 

Mba Sumi membawa teh manis untuk masku dan istrinya juga mbaku dan suaminya. Juga membawa segelas kopi panas baru untuk bapak. Yang tadi pagi dibawa oleh ibu sudah habis olehku. 

Di ruang tamu, terdengar obrolan dengan topik orang-orang dewasa yang belum kumengerti. Paceklik, harga gabah turun, dan masih banyak lainnya. Biasanya kalo aku bertanya ke ibu apa itu paceklik atau kenapa wajah bapak terlihat lelah setelah pulang menjual gabah. Ibu akan menjawab, “Nanti kalo sudah besar, kamu akan tahu.”

Setelah siang, Mas Sapto dan istrinya, mba Ayu dan suaminya pulang. Rumahku sepi lagi. Karena aku dan Mba Sumi hari ini berusaha ndak akan berkelahi. Seperti kata ibuk. “Masih Lebaran. Pamali.”

Suguhan kue di meja ruang tamu juga baru berkurang 5 potong. Satu dimakan Mas Sapto, satu dimakan suaminya Mba Ayu, satu dimakan bapak, yang dua dimakan olehku. Rumahku sepi dari tamu lebaran. Tidak seperti tetangga depan rumah. Belum pulang tamu satunya, sudah dua rombongan tamu lainnya. 

“Pakde punya banyak saudara disini. Makanya banyak tamunya. Saudara kita kan banyak di jawa semua.” Kata ibuk setiap kali aku bertanya kok rumahku sepi dari tamu.

Memang setiap tahun rasanya lebaran untuk keluargaku hanya di satu hari itu. Tidak seperti keluarga lainnya yang sampai delapan hari. Itu karena hanya di hari pertama lebaran itulah rumahku ramai. Itu juga oleh keluarga sendiri. Tapi aku tetap bersuka cita tiap kali bapak bilang, “Suti, hari ini puasa terakhir. Kita besok lebaran.”

Bapak mengganti baju kokonya dengan kaos berkerah warna abu-abunya. Memakai celana pendek andalannya. 

“Pak. Mbok pake celana panjang. Ini masih lebaran. Masak pake celana pendek gitu. Kan malu dilihat orang.” Ibuk mengomeli bapak ketika melihat celana pendeknya. 

Bapak masuk lagi ke kamar. Mengganti celana pendeknya menjadi celana panjang. Bapak tidak pernah membantah apa yang ibuk bilang. Bapakku itu pendiam. Aku jarang mendengar ibuk dan bapakku bertengkar. 

Sore ini juga aku melihat sisi bapak yang pendiam itu. Bapak duduk di teras depan dengan rokok yang dinyalakannya. Bapak melihat tamu yang datang dan pergi di rumah Pakde. Tetangga depanku. 

Aku berjalan ke halaman. Membawa kembang api yang tadi pagi ndak jadi dinyalakan. Aku tertawa melihat kembang yang masih saja terlihat kelap-kelipnya meskipun matahari masih ada. 

Satu kembang api habis. Satu rokok bapak habis. Satu kenanganku tentang lebaran bersama bapak juga habis. 

Selamat lebaran bapak. 
 

Posting Komentar

0 Komentar