Sepertinya
aku tahu alasan ceritaku tak pernah selesai. Bukan. Bukan cerita
seperti yang kalian pikirkan. Cerita yang ku maksud bukanlah cerita
dalam makna konotasi. Tapi cerita dalam makna sebenarnya. Beberapa orang
membuatnya kemudian menyebutnya cerita pendek, beberapa lagi
menyebutnya novel. Ada banyak lagi cara orang menyebutnya. Yang harus
kita sepakati sekarang hanyalah mau diberi nama apapun, mau disebut
apapun. Ianya adalah cerita. Benarkan?
Malam
ini aku memahaminya setelah berulang membuka semua file yang ada.
Cerita yang pernah kubuat. Tak pernah selesai. Aku bukan hanya
kehilangan tokoh maupun latarnya. Tapi aku tak tahu apa yang harus ku
tulis. Tidak memahami benang merah sebuah cerita. Tak memahami asal
sebuah cerita.
Pernahkan
kalian membaca sebuah novel? Puisi? Menonton film? Tak tidur hingga
menjelang pagi untuk menyelesaikan satu judul drama korea? Oh...itu yang
kali ini sedang aku lakukan. Aku menanyakannya pada kalian hanya untuk
mencari pembenaran bahwa ada orang yang sama sepertiku. Bahwa aku masih
terhitung berada dalam kondisi normal.
Pikiranku
berkelana ketika hatiku tersayat oleh cerita drama yang kutonton.
Pikiranku berkelana ketika aku menyelesaikan halaman terakhir buku di
tanganku. Pikiranku berkelana ketika rasa dingin ini merayapi kakiku.
Aku seperti melihat sebuah lukisan utuh. Semua cerita itu yang dikemas
dalam bentuk tulisan, lisan atau visual bermula dari satu hal yang sama.
Cinta.
Bukankah
film dengan alur pembunuhan itu bermula dari cinta. Bukankah drama yang
dipenuhi intrik balas dendam itu bermula dari cinta. Entah itu cinta
dalam setting keluarga, teman, atau antara wanita dan pria. Sekali lagi,
bukankah novel yang menceritakan harapan dan pertanyaan itu bermula
dari cinta.
Photo by Nik MacMillan on Unsplash
Apakah
hanya aku yang melihatnya seperti itu? Jika semua cerita itu berawal
dari cinta. Entahlah. Bahkan aku tak tahu apa itu cinta. Pada akhirnya
aku harus mengakui semua yang ku tulis itu, aku tak pernah memahaminya.
Cinta? Bisakah kita memberikan nama selain ini? Bisakah diterbitkan
sebuah buku tentang definisi, bentuk, bahkan sebab orang merasakan
cinta? Jika ada yang bisa melakukannya. Segeralah diterbitkan. Aku akan
menjadi orang pertama yang membacanya.
Perkenalkan.
Riska Sonia Ali. Itu namaku. Nama sebenarnya. Terdaftar dalam catatan
kependudukan Indonesia. Menjadi seorang perempuan yang terbiasa
diberikan label tomboy. Aku menjalani hidup sebagai perempuan dengan
penampilan tomboy hanya dalam waktu singkat. Kini yang tersisa hanyalah
cara berpikir dan beberapa sifat. Aku akan memberitahumu yang kumaksud
cara berpikir tomboy ini.
Dingin
yang datang. Entah karena suhu yang menurun atau karena kesedihan dari
drama yang sampai pula kepadaku. Meskipun aku tak memahami bagaimana ini
terjadi. Harus ku akui aku menangis bersama dengan tokoh dalam drama
itu. Aku tak tahu apakah aku menangis karena ikut dalam perasaan tokoh
itu atau menangis karena mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ada
dipikiranku. Lebih tepatnya aku memilih menjawabnya dengan cara ini. Aku
tak tahu kebenaran dari jawaban yang kutemukan. Aku hanya memutuskan
untuk meyakini bahwa ada kebenaran dalam jawaban ini.
Obrolan
online yang menemani makan malam kemarin menjadi awal dari pertanyaan
ini. Aku menambahkan sedikit bumbu dari tanggapan temanku. Pertanyaan
ini muncul dipagi hari. Tepat saat aku bangun. Melihat handphone.
Mengecek obrolan itu lagi. Lalu semua terasa dingin. Dalam makna
sebenarnya. Seandainya aku punya selimut yang lebih tebal dari yang
kupunya. Maka aku pasti segera memakainya.
***
Beberapa
jam sebelumnya. Bisa dikatakan malam tadi. Aku pergi makan bersama
temanku. Duduk di ujung ruangan. Melihat lampu jalan, lampu kendaraan,
lampu gedung yang bersamaan menyala.
“Kamu kenapa? Dari tadi diam doang?” suara temanku membuat aku menoleh ke arahnya. Tak lagi melihat lampu jalan.
“Ya...Kamu bisa mengatakan jika aku baik-baik saja.” aku menjawab sekenanya.
“Baiklah.
Sepertinya ini akan menjadi salah satu makan malam dengan pembicaraan
menggunakan bahasa serius.” kata temanku. Dia seperti sudah bisa menebak
kemana arah malam ini akan bermuara. Tak hanya menuju pagi. Tapi akan
ada yang berlayar bersamanya.
“Aku
tak tahu apa aku bisa menceritakan ini padamu atau biarlah seperti
sekarang” aku kembali menatap lampu jalan. Setidaknya untuk 10 menit
selanjutnya. Meja ini tanpa suara. Tak ada yang bicara. Aku dan temanku.
“Aku
tak tahu apa ini layak untuk kuceritakan atau tidak. Selain itu, aku
sudah tahu apa yang akan kau katakan padaku jika aku mengatakan ini
padamu. Ataupun jika aku menceritakan ini pada orang lain selain kau.
Aku sudah tahu jawabannya.” aku memulai kembali pembicaraan di meja ini.
“Baiklah.
Lalu aku akan berusaha mencari jawaban lain jika kau mau. Setelah kau
pun berkenan menceritakannya. Satu lagi. Meskipun kau tak akan
menjadikan pendapatku sebagai bahan pertimbangan tentang layak dan tak
layak itu tapi aku akan tetap akan mengatakannya. Menurutku cerita yang
akan kau ceritakan layak untuk kudengar.” temanku mencoba meyakinkanku
untuk bercerita. Dia sedikit berbeda dariku. Sedikit yang kumaksud ini
bisa jadi menurutnya dan menurut kalian adalah banyaknya perbedaan
antara aku dan temanku. Malam ini akan muncul salah satu perbedaan itu.
Bahkan baru saja muncul.
“Sepertinya
aku hanya merasa penasaran. Aku berniat untuk bertanya langsung
padanya. Dengan caraku. Bagaimana menurutmu?” aku bertanya pada temanku.
“Ini tentang lelaki itu?” temanku kembali bertanya padaku.
“Ya.
Aku ingin tahu apa yang dia rasakan. Setelah itu aku bisa memutuskan
kemana arah hatiku. Aku tak ingin terjebak dalam ilusi ini lagi. Ilusi
dari semua interpretasi yang kau berikan atau perilakunya padaku.” aku
sedikit meninggikan suara.
“Baiklah. Lakukan saja.” temanku merespon dengan tenang.
“Aku tahu kau akan mengatakannya.” aku membalas pernyataannya dengan suara sangat pelan.
“Ya.
Kau wajar melakukannya. Hanya saja dia yang akan sulit menjawabnya
ketika kau menanyakannya. Itu akan lebih sulit dari soal ujian yang
pernah dia kerjakan.” temanku mencoba mengajakku melihat masalah ini
dari sudut pandang lain.
“Iya.
Sepertinya akan menjadi sulit untuknya dan menjadi sulit untukku sejak
dia menghubungi beberapa bulan yang lalu.” aku sedikit menghela napas.
Oh..ini sangat menyebalkan. Mengapa dia harus melakukannya saat aku
sudah terbiasa dengan tak ada komunikasi dengannya.
***
Beberapa bulan yang lalu. Ada pesan masuk di hapeku. Dari seseorang yang lama sekali sudah tak kusebut namanya.
Lelaki itu. Mengirim pesan untukku.
“Assalamu’alaikum.” Isi pesan lelaki itu.
“Wa’alaikumusslam.” Balasan pesan dariku.
“Apa kabar?” Dia melanjutkan obrolan online malam itu.
“Baik.” Jawaban standar untuk sebuah pertanyaan “apa kabar” aku kirimkan padanya.
“Kamu pulang nggak liburan ini?” Dia masih membalas pesan.
“Sepertinya nggak.” Aku mengirim balasan pesannya dengan berharap dia tak akan membalas lagi.
“Yah...kenapa
nggak pulang?” Dia masih saja membalas pesan. Dengan kalimat yang bisa
ditafsirkan dia sedang menunjukkan kekecewaan karena aku tak pulang
liburan ini.
“Urusan disini belum selesai.” Aku mengirim pesan dan masih berharap dia tak membalas lagi.
“Hmm. Gitu ya.” Dia masih saja membalas.
Kali
ini aku tak membalas. Pertama, kalimat yang dia kirim tak memberiku
kalimat untuk ditulis. Kedua, aku sudah tak ingin melanjutkan obrolan
online ini. Rasa yang sudah lama aku redupkan nyalanya itu perlahan
mulai terang lagi. Aku tak ingin nyalanya menjadi sangat terang.
***
Hari-hari
selanjutnya setelah obrolan online itu, aku kembali terjebak ilusi
perasaanku. Bukan hanya aku merasa harus meyakinkan diriku bahwa aku
masih mencintainya. Tapi aku ingin meyakinkan diriku bahwa dia juga
masih mencintaiku.
Aku
seperti bermain judi ketika berurusan dengan perasaanku pada lelaki
itu. Hari ini aku bertaruh pada diriku aku sudah melupakannya. Sorenya
aku kalah. Aku masih mencintainya. Itu terjadi setiap hari. Setelah dia
menghubungiku lagi.
Malam ini keberanianku muncul. Aku menuliskan satu kalimat itu. Mengirimkan pada lelaki itu.
“Apa kau masih menyukaiku?” isi pesanku untuknya.
Satu
jam kemudian ada bunyi pesan masuk. Nama lelaki itu muncul di layar
hapeku. Kali ini keberanianku hilang. Aku tak berani melihat jawaban
darinya.
Aku tenggelam dalam ilusi perasaanku lagi. Apakah dia masih menyukaiku?
@@@
Baca juga cerita lainnya yuk, Boi...
0 Komentar