BIDUAN ITU... (2)

 



--Bagian Dua--
 
Biduan itu. Sejenak aku merasa diriku tak wajar. Apa aku boleh merasa tertarik dengannya. Seorang biduan. Bukankah sudah menjadi prinsip yang diajarkan di setiap masjid, lewat nasehat orang tua. Prinsip yang tak dapat dibantah. Bahwa orang yang baik akan berjodoh dengan orang yang baik? Bukankah prinsip ini selalu menunjukkan kekuatannya dalam menjodohkan seseorang?

Lantas apa yang tengah terjadi malam ini? Dimana kekuatan prinsip itu? Atau aku yang masih jauh dari paham akan prinsip itu?

Bukan aku mengatakan aku orang baik. Atau sebaliknya. Aku juga bukan orang jahat. Aku hanya merasa tak berada dalam frekuensi yang sama dengannya. Apa aku tengah menyombongkan diriku. Oh...Tuhan.. Tolonglah hambamu ini.

Sementara aku hanya berani memperhatikan tiap geraknya. Dia berkeliling ke tiap penumpang di ruang itu. Menghampiri lalu bertanya tentang lagu yang diminta. Ya. Hanya dengan cara itu dia akan mendapatkan bayaran. Itulah hal yang dilakukannya. Itulah pekerjaannya.

Aku masih memperhatikannya. Dia kini mulai berjalan ke arahku. Setiap ketukan langkah kakinya seperti menjadi detik pada bom yang siap meledak di pikiranku. Kacau. Aku tak dapat mengendalikan pikiranku.

Dia semakin dekat. Tiga langkah lagi.

Tuk..tuk...tuk...

Lengkap sudah. Kacaunya pikiranku. Bercampur bahagia dapat melihat senyum tipis itu dari dekat. Sekaligus kecewa. Mendapati diriku tertarik pada seorang biduan. Sepertinya aku memang tengah diliputi rasa sombong. Atau hanya tengah mencari pembenaran untuk meneruskan rasa tertarikku ini. Entahlah. Semuanya semakin kacau.

Bertambah kacau ketika aku harus melihat semuanya. Apa yang ia lakukan. Itu benar-benar menampar harga diriku. Aku harus mengakui bahwa aku tertarik padanya. Ya. Dengannya. Dia yang tengah bergoyang di depan para lelaki untuk menarik lembaran demi lembaran lima ribuan. Aku pun tak bisa bilang lelaki itu berhidung belang hanya karena kejadian ini. Aku bahkan tak dapat melihat ke arah hidungnya. Aku duduk di bagian belakang ruang penumpang itu.

Ya. Aku akhirnya berhasil mendapatkan tempat duduk. Lebih tepatnya terpaksa duduk di ruangan itu. Aku lebih memilih duduk di ruangan yang penuh sesak, panas, dan asap rokok memenuhi seisi ruangan. Rasa lelah selama perjalanan ini tak menyisakan energi untukku.

Sekarang. Entah aku harus menyebutnya keberuntungan atau takdir. Aku mendapati diriku tertarik pada sosok si empunya senyum tipis itu.

Aku terus memperhatikannya. Tiap hal yang dilakukannya semakin membuatku ingin menariknya dari ruangan ini. Aku ingin memarahinya. Semakin aku ingin melakukan itu, semakin membuatku sadar aku tak punya hak untuk melakukannya.

Aku masih terus memperhatikannya. Lembaran uang lima ribuan yang didapatnya dari lelaki sebelumnya telah lenyap. Mengamankan diri ke dalam saku celananya. Dia kembali menghampiri lelaki yang lain. Berjarak 2 baris ke belakang dari sebelumnya. Kembali bergoyang. Semuanya berulang. Lembaran lima ribuan keluar dari dompet. Berpindah ke tangannya. Aku pun kembali merasa marah.

Pikiran tentang aku tak punya hak untuk marah padanya tak ada lagi. Keberanianku muncul. Entah darimana. Mungkin dari rasa marah melihat dua kejadian berulang itu. Mungkin dari prinsip yang aku anut tentang ketidak benaran perilaku itu. Mungkin juga dari keinginanku untuk menghentikan perilakunya karena aku tertarik padanya. Aku tak ingin dia melakukan itu karena aku tertarik padanya.

Keberanian itu masih ada. Masih memuncak. Aku pun masih memperhatikan arah yang sedang ia tuju.

Bingo. Dia kembali berjalan ke arahku. Aku mengarahkan pandanganku. Mencoba menarik perhatiannya agar ia menghampiriku.

Apakah kekuatan prinsip tentang jodoh itu memang tak bekerja untukku malam ini? Haruskah aku membenarkan apa yang terjadi padaku malam ini? Haruskah aku meng-iya-kan ketertarikanku padanya?


Posting Komentar

0 Komentar